Biar Disapu Ombak

Biar Disapu Ombak
Lupakan.. lalu semuanya akan selesai...

Jumat, 12 September 2014

MUSYAWARAH untuk MUFAKAT, Kearifan Lokal yang Terlupakan



Enam hari mengikuti Workshop Mediasi di Sektor Jasa Keuangan, kembali saya diingatkan dengan satu kearifan lokal yang sepertinya sudah terlalu sering kita lupakan. Musyawarah untuk mencapai Mufakat. Saya kali ini bukan ingin menuliskan materi selama enam hari yang telah saya dapatkan tentang Mediasi, tapi saya ingin menuliskan tentang sebuah kearifan lokal yang bernama Musyarawarah untuk mencapai mufakat.

Sebagai seorang yang didalam tubuhnya mengalir darah Indonesia, dari sejak kecil kita sudah kenal dengan Musyawarah untuk mencapai mufakat. Jika ada perbedaan maka langkah yang akan ditempuh pertama kali adalah musyawarah untuk mencapai mufakat, jika musyawarah gagal baru ditempuh pengambilan suara atau voting.  Tapi kenapa dalam menentukan pemimpin kita, kita tak pernah mendahulukan musyawarah untuk mencapai mufakat, membuat keputusan bersama-sama dan menghasilkan aklamasi. Kenapa kita selalu mendahulukan Voting ? Benarkah Voting adalah yang terbaik? Tabukah musyawarah untuk mufakat yang menghasilkan aklamasi dalam menentukan pemimpin yang akan meminpin kita di era sekarang ini? Kenapa selalu muncul kalimat “tak kan kami biarkan dia melenggang begitu saja tanpa lawan” sehingga kita kadang terpaksa memunculkan calon-calon yang sebenarnya tak siap menjadi pemimpin, dan akhirnya berunjung konflik yang mengganggu organisasi?

W.A Robson, dalam The University Teaching of Social Sciences (Unesco 1954) menjabarkan bahwa musyawarah sangat berbeda dengan voting. Voting cenderung dipilih oleh sebagian besar negara demokrasi karena lebih praktis, menghemat waktu dan lebih simpel daripada musyawarah. Kemudian juga karena faktor geografis pemilihan yang tersebar berserakan dan adanya keterbatasan waktu serta dana. Muncul pertanyaan dalam benak saya, kenapa kita yang berkumpul dalam satu ruangan untuk memilih seorang pemimpin, lebih mendahulukan melakukan voting ketimbang musyawarah untuk mencapai mufakat? Bahkan Muhammad Hatta, Bapak Koperasi kita, mengajarkan untuk mengedepankan kerendahan hati dalam semua urusan yang terkait dengan musyawarah untuk mufakat. Semua sepakat bahwa segala keputusan dilakukan dengan musyawarah, dan TIDAK ada satu pun niat untuk melakukan voting.

Bahasa yang santun, dan budaya tatakrama dijunjung tinggi diatas semua kepentingan. Sebanyak pengajuan dan usulan yang masuk, sebanyak itulah waktu yang kita gunakan untuk mendapatkan mufakat. Kita tidak perlu khawatir dengan Dana dan Waktu, karena semua anggota organisasi sudah berkumpul dalam satu ruangan dan mencurahkan perhatiannya sepenuh hati. Dengan demikian saya meyakini kita akan mendapatkan seorang pemimpin yang jauh lebih baik dari pemimpin yang dihasilkan dari Voting. Konflik yang menguras tenaga dan merugikan organisasipun bisa kita hindari.

Sejarah konflik internal dalam organisasi seharusnya bisa membuat setiap anggota organisasi untuk berhati-hati dalam menilai diri sendiri, melihat momentum dan menyikapi perbedaan. Ada pembelajaran konflik yang dapat dirasakan bersama sebagai semacam nilai-nilai baru yang harus dipegang teguh. Nilai-nilai baru itu adalah keyakinan bahwa konflik itu merusak dan tidak menguntungkan siapapun termasuk pihak yang menang. Pemilihan pemimpin kadang sering diwarnai oleh persaingan yang kadang kala tak sehat dan konflik antar kandidat yang acapkali memecahbelah organisasi. Konflik hanya akan membuka ruang orang lain untuk intervensi dan mengacak-acak internal organisasi dan pada gilirannya mengkerdilkan organisasi yang kita cintai ini. Harusnya konflik membuat kita lebih dewasa. Kita harusnya mampu menekan egoism personal dan mendahulukan kepentingan besar organisasi kita agar tetap solid dan kompak.

Mengapa voting atau pemungutan suara sepertinya menjadi satu-satunya mekanisme demokratis yang tersedia. Padahal Aklamasi itu juga demokratis karena dihasilkan dari musyawarah untuk mufakat, selain itu lebih berkarakter Indonesia, itulah kearifan lokal Indonesia yang sesungguhnya. Permusyawaratan untuk mencapai mufakat itu terasa lebih manusiawi daripada sekedar pertarungan kekuatan. Voting menghasilkan kemenangan atau kekalahan, sementara hasil dari aklamasi adalah kebijaksanaan.

Namun karena adanya anggapan bahwa mekanisme musyawarah akan memakan waktu yang sangat lama, apalagi dalam musyawarah diperlukan argumen-argumen yang logis serta dapat dicerna dengan baik untuk memperoleh mufakat, dalam musyawarahpun diperlukan kejernihan berfikir, dan juga pendapat sebagian besar orang bahwa berargumen dalam musyawarah hanyalah akan menghadirkan debat kusir., itulah beberapa alasan yang menurut saya yang menyebabkan kita saat ini lebih memilih bermudah-mudah voting dari pada bersulit-sulit musyawarah menuju mufakat.
Sebenarnya punya argumen, pilihan dan pendapat yang berbeda sah-sah saja , karena menurut saya Perbedaan itu sebuah rahmat, tetapi jika perbedaan itu  menyebabkan konflik maka akan merusak dan merugikan semua pihak. Dari pengalaman itu juga saya sampai pada kesimpulan bahwa aklamasi adalah mekanisme demokrasi yang khas Indonesia dan patut digelorakan di organisasi kita.

Pakde Karwo dalam suatu kesempatan pernah berkata demikian,  “Kalau ada 10 orang, 9 di antaranya gila dan hanya 1 orang yang waras, apa iya kita akan ikut yang 9 orang?”. Demokrasi memang tak bisa kita tolak. Tapi kita, masyarakat Indonesia memiliki Musyawarah Mufakat sebagai mekanisme organisasi.

Hari ini, kita mengingat kembali Musyawarah untuk mufakat, kita semua bisa berunding, berhak mengajukan sesuatu namun dengan mengedepankan kerendahan hati dalam mencari jawaban, mendahulukan kepentingan organisasi. Voting bukanlah satu-satunya pilihan utama, dan Musyawarah untuk mufakat untuk menghasilkan Aklamasi  itu juga bukan barang yang tabu.

Tetapi saya juga ingin mengingatkan, aklamasi itu juga bukan harga mati. Kalau memang tidak tercapai kata sepakat, maka harus ada pemilihan atau voting, one man one vote untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin kita. Tetapi Voting adalah pilihan terakhir bukan yang utama. Yang utama adalah kembali kepada kearifan lokal kita MUSYAWARAH UNTUK MUFAKAT. Bukankah pemimpin kita dipilih dalam ajang Munas dan Munas adalah Musyawarah Nasional, dimana kita semua berkumpul dengan mengedepankan Musyawarah untuk mufakat? (Disarikan dari berbagai sumber).


1 komentar:

  1. TOTO HOTTEST - Titanium Tail Stud - Tire Stinger - TITOBET
    TOTO HOTTEST - titanium nitride Titanium trekz titanium pairing Tail titanium teeth dog Stud - silicone dab rig with titanium nail Tire Stinger.Titanium-Azelyte-Habanero.$20.00 · micro hair trimmer ‎In stock

    BalasHapus