Enam hari mengikuti Workshop Mediasi
di Sektor Jasa Keuangan, kembali saya diingatkan dengan satu kearifan lokal
yang sepertinya sudah terlalu sering kita lupakan. Musyawarah untuk mencapai
Mufakat. Saya kali ini bukan ingin menuliskan materi selama enam hari yang
telah saya dapatkan tentang Mediasi, tapi saya ingin menuliskan tentang sebuah
kearifan lokal yang bernama Musyarawarah untuk mencapai mufakat.
Sebagai seorang yang didalam tubuhnya
mengalir darah Indonesia, dari sejak kecil kita sudah kenal dengan Musyawarah
untuk mencapai mufakat. Jika ada perbedaan maka langkah yang akan ditempuh
pertama kali adalah musyawarah untuk mencapai mufakat, jika musyawarah gagal
baru ditempuh pengambilan suara atau voting.
Tapi kenapa dalam menentukan pemimpin kita, kita tak pernah mendahulukan
musyawarah untuk mencapai mufakat, membuat keputusan bersama-sama dan
menghasilkan aklamasi. Kenapa kita selalu mendahulukan Voting ? Benarkah Voting
adalah yang terbaik? Tabukah musyawarah untuk mufakat yang menghasilkan
aklamasi dalam menentukan pemimpin yang akan meminpin kita di era sekarang ini?
Kenapa selalu muncul kalimat “tak kan kami biarkan dia melenggang begitu saja
tanpa lawan” sehingga kita kadang terpaksa memunculkan calon-calon yang
sebenarnya tak siap menjadi pemimpin, dan akhirnya berunjung konflik yang
mengganggu organisasi?
W.A Robson, dalam The University Teaching of Social Sciences
(Unesco 1954) menjabarkan bahwa musyawarah sangat berbeda dengan voting. Voting
cenderung dipilih oleh sebagian besar negara demokrasi karena lebih praktis,
menghemat waktu dan lebih simpel daripada
musyawarah. Kemudian juga karena faktor
geografis pemilihan yang tersebar berserakan dan adanya keterbatasan waktu
serta dana. Muncul pertanyaan dalam benak saya, kenapa kita yang berkumpul
dalam satu ruangan untuk memilih seorang pemimpin, lebih mendahulukan melakukan
voting ketimbang musyawarah untuk mencapai mufakat? Bahkan Muhammad
Hatta, Bapak Koperasi kita, mengajarkan untuk mengedepankan kerendahan hati
dalam semua urusan yang terkait dengan musyawarah untuk mufakat. Semua sepakat
bahwa segala keputusan dilakukan dengan musyawarah, dan TIDAK ada satu pun niat
untuk melakukan voting.
Bahasa yang santun,
dan budaya tatakrama dijunjung tinggi diatas semua kepentingan. Sebanyak
pengajuan dan usulan yang masuk, sebanyak itulah waktu yang kita gunakan untuk mendapatkan
mufakat. Kita tidak perlu khawatir dengan Dana dan Waktu, karena semua anggota
organisasi sudah berkumpul dalam satu ruangan dan mencurahkan perhatiannya
sepenuh hati. Dengan demikian saya meyakini kita akan mendapatkan seorang
pemimpin yang jauh lebih baik dari pemimpin yang dihasilkan dari Voting.
Konflik yang menguras tenaga dan merugikan organisasipun bisa kita hindari.
Sejarah konflik internal
dalam organisasi seharusnya bisa membuat setiap anggota organisasi untuk
berhati-hati dalam menilai diri sendiri, melihat momentum dan menyikapi
perbedaan. Ada pembelajaran konflik yang dapat dirasakan bersama sebagai
semacam nilai-nilai baru yang harus dipegang teguh. Nilai-nilai baru itu adalah
keyakinan bahwa konflik itu merusak dan tidak menguntungkan siapapun termasuk
pihak yang menang. Pemilihan pemimpin kadang sering diwarnai oleh persaingan
yang kadang kala tak sehat dan konflik antar kandidat yang acapkali
memecahbelah organisasi. Konflik hanya akan membuka ruang orang lain untuk
intervensi dan mengacak-acak internal organisasi dan pada gilirannya
mengkerdilkan organisasi yang kita cintai ini. Harusnya konflik membuat kita
lebih dewasa. Kita harusnya mampu menekan egoism personal dan mendahulukan
kepentingan besar organisasi kita agar tetap solid dan kompak.
Mengapa voting atau
pemungutan suara sepertinya menjadi satu-satunya mekanisme demokratis yang
tersedia. Padahal Aklamasi itu juga demokratis karena dihasilkan dari
musyawarah untuk mufakat, selain itu lebih berkarakter Indonesia, itulah
kearifan lokal Indonesia yang sesungguhnya. Permusyawaratan untuk mencapai
mufakat itu terasa lebih manusiawi daripada sekedar pertarungan kekuatan.
Voting menghasilkan kemenangan atau kekalahan, sementara hasil dari aklamasi
adalah kebijaksanaan.
Namun karena adanya anggapan
bahwa mekanisme musyawarah akan memakan waktu yang sangat lama, apalagi
dalam musyawarah diperlukan argumen-argumen yang logis serta dapat dicerna
dengan baik untuk memperoleh mufakat, dalam musyawarahpun diperlukan kejernihan
berfikir, dan juga pendapat sebagian besar orang bahwa berargumen dalam
musyawarah hanyalah akan menghadirkan debat kusir., itulah beberapa alasan yang
menurut saya yang menyebabkan kita saat ini lebih memilih bermudah-mudah voting
dari pada bersulit-sulit musyawarah menuju mufakat.
Sebenarnya punya argumen, pilihan dan pendapat yang berbeda sah-sah saja , karena menurut saya Perbedaan itu sebuah rahmat, tetapi jika perbedaan itu menyebabkan konflik maka akan merusak dan merugikan semua pihak. Dari pengalaman itu juga saya sampai pada kesimpulan bahwa aklamasi adalah mekanisme demokrasi yang khas Indonesia dan patut digelorakan di organisasi kita.
Sebenarnya punya argumen, pilihan dan pendapat yang berbeda sah-sah saja , karena menurut saya Perbedaan itu sebuah rahmat, tetapi jika perbedaan itu menyebabkan konflik maka akan merusak dan merugikan semua pihak. Dari pengalaman itu juga saya sampai pada kesimpulan bahwa aklamasi adalah mekanisme demokrasi yang khas Indonesia dan patut digelorakan di organisasi kita.
Pakde Karwo dalam suatu
kesempatan pernah berkata demikian, “Kalau ada 10 orang, 9 di antaranya gila dan
hanya 1 orang yang waras, apa iya kita akan ikut yang 9 orang?”. Demokrasi
memang tak bisa kita tolak. Tapi kita, masyarakat Indonesia memiliki Musyawarah
Mufakat sebagai mekanisme organisasi.
Hari ini, kita
mengingat kembali Musyawarah untuk mufakat, kita semua bisa berunding, berhak mengajukan
sesuatu namun dengan mengedepankan kerendahan hati dalam mencari jawaban,
mendahulukan kepentingan organisasi. Voting bukanlah satu-satunya pilihan
utama, dan Musyawarah untuk mufakat untuk menghasilkan Aklamasi itu juga bukan barang
yang tabu.
Tetapi saya juga
ingin mengingatkan, aklamasi itu juga bukan harga mati. Kalau memang tidak
tercapai kata sepakat, maka harus ada pemilihan atau voting, one man one
vote untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin kita. Tetapi Voting
adalah pilihan terakhir bukan yang utama. Yang utama adalah kembali kepada
kearifan lokal kita MUSYAWARAH UNTUK
MUFAKAT. Bukankah pemimpin kita dipilih dalam ajang Munas dan Munas adalah
Musyawarah Nasional, dimana kita semua berkumpul dengan mengedepankan
Musyawarah untuk mufakat? (Disarikan dari berbagai sumber).
TOTO HOTTEST - Titanium Tail Stud - Tire Stinger - TITOBET
BalasHapusTOTO HOTTEST - titanium nitride Titanium trekz titanium pairing Tail titanium teeth dog Stud - silicone dab rig with titanium nail Tire Stinger.Titanium-Azelyte-Habanero.$20.00 · micro hair trimmer In stock