Ini adalah tulisan yang aku ambil dari portal TDA - Tangan di Atas, di bagian kolom TDA terdapat tulisan dari Admin, ditulis 25 November 2011 yang berjudul "Kelihatan Hebat padahal...."
Kenapa tiba-tiba aku membuka website TDA ini. Ini juga karena saat meeting dengan TBTLKM BI hari Kamis kemarin, aku memberikan masukan untuk membuat sebuah acara, yang aku menyebutnya sebagai "BPR's Day". Keinginan ini aku lontarkan karena menurut aku perlu dilakukan branding yang baik untuk BPR. Banyak masyarakat yang sepertinya belum mengenal BPR dengan baik. Entah itu level dengan pendidikan yang tinggi bahkan sampai yang rendah.
Ada yang mengatakan BPR itu 1/2 bank, bahkan ada yang bilang BPR itu bukan bank. Menyedihkan. Saat meeting pun aku menjadi bahan canda gurau karena dianggap paling "sakit hati" dengan sebutan-sebutan itu. Tak apa-apa.. ini bukti cintaku pada BPR. Untuk menggambarkan masukan yang aku berikan aku memberikan contoh tentang kegiatan TDA.. dan kemudian aku diminta untuk mencari informasi yang lebih jelas mengenai kegiatan TDA itu dan bisakah BPR bekerjasama dengan TDA.
Tanpa sengaja aku menemukan tulisan ini di Kolom TDA. Sedih juga jika BPR seperti ini ternyata benar-benar ada. Namun aku percaya dengan perhatian dan pengawasan BI yang ketat rasanya tak mungkin ada BPR seperti ini. Karena jika kondisi minus terus menerus BI pasti akan meminta untuk menambah modal. Dan apakah iya BPR ini tidak melempar kredit sepeserpun..dan apakah tidak mendapat teguran dari Bank Indonesia, karena BPR harus menjalankan fungsi intermediasinya.
Tulisan itu dapat dibaca di : http://www.tangandiatas.com/index.php?ar_id=Njg3
Kelihatan Hebat, Padahal…
Oleh : Admin
Jumat, 25 November 2011 15:59 WIB
.
Menyambung tulisan kemarin soal bisnis yang besar versus kuat, ada lagi cerita lain dari Pak Heppy Trenggono yang saya dapat dari workshop Business Mastery.
Ini cerita tentang seorang pengusaha BPR di sebuah kabupaten di pulau Jawa.
Ia memulai bisnis ini sekitar 5 tahun lalu dengan modal pinjaman Rp. 150 juta dari seorang teman. Dalam waktu setahun ia dapat melunasi pinjaman itu karena BPRnya dapat menghimpun dana pihak ketiga sampai Rp. 2 miliar.
Ia menawarkan suku bunga lebih tinggi di atas pasar.
Tahun-tahun berikutnya, asetnya makin membengkak sampai 12 miliar. Ia pun membeli kantor yang mentereng senilai 2 miliar. Namanya menjadi populer diikuti dengan berbagai penghargaan yang kemudian diterimanya. BPR miliknya mendapat gelar “the best”, menjadi pembina dan percontohan bagi BPR lainnya.
Di balik semua kemegahan, “kesuksesan” dan popularitas itu, sebenarnya si pemilik BPR ini stres dan bingung. Tiap malam ia sulit tidur. Pasalnya, ia belum bisa menyalurkan sepeser pun kredit sejak BPR itu didirikan. Setiap bulan biaya operasionalnya minus.
Lantas, dari mana ia bisa mengoperasikan BPR itu? Dari dana tabungan yang masuk. Ia mengambil dari penabung yang baru masuk untuk membayar nasabah terdahulu. Begitu terus menerus. Seperti money game.
Jika tidak ada nasabah baru, tamatlah riwayatnya. Nasibnya selalu tertolong karena selalu ada nasabah baru yang masuk. Maklum, karena bunganya tinggi.
Hanya ia dan Pak Heppy yang tahu kenyataan sebenarnya di dalam perusahaan itu.
Sampai hari ini perusahaan itu masih beroperasi dengan cara seperti itu.
Wallahu’alam bagaimana selanjutnya. Yang jelas, banyak pelajaran yang bisa diambil dari cerita ini. Silakan disimpulkan sendiri.
Ini cerita tentang seorang pengusaha BPR di sebuah kabupaten di pulau Jawa.
Ia memulai bisnis ini sekitar 5 tahun lalu dengan modal pinjaman Rp. 150 juta dari seorang teman. Dalam waktu setahun ia dapat melunasi pinjaman itu karena BPRnya dapat menghimpun dana pihak ketiga sampai Rp. 2 miliar.
Ia menawarkan suku bunga lebih tinggi di atas pasar.
Tahun-tahun berikutnya, asetnya makin membengkak sampai 12 miliar. Ia pun membeli kantor yang mentereng senilai 2 miliar. Namanya menjadi populer diikuti dengan berbagai penghargaan yang kemudian diterimanya. BPR miliknya mendapat gelar “the best”, menjadi pembina dan percontohan bagi BPR lainnya.
Di balik semua kemegahan, “kesuksesan” dan popularitas itu, sebenarnya si pemilik BPR ini stres dan bingung. Tiap malam ia sulit tidur. Pasalnya, ia belum bisa menyalurkan sepeser pun kredit sejak BPR itu didirikan. Setiap bulan biaya operasionalnya minus.
Lantas, dari mana ia bisa mengoperasikan BPR itu? Dari dana tabungan yang masuk. Ia mengambil dari penabung yang baru masuk untuk membayar nasabah terdahulu. Begitu terus menerus. Seperti money game.
Jika tidak ada nasabah baru, tamatlah riwayatnya. Nasibnya selalu tertolong karena selalu ada nasabah baru yang masuk. Maklum, karena bunganya tinggi.
Hanya ia dan Pak Heppy yang tahu kenyataan sebenarnya di dalam perusahaan itu.
Sampai hari ini perusahaan itu masih beroperasi dengan cara seperti itu.
Wallahu’alam bagaimana selanjutnya. Yang jelas, banyak pelajaran yang bisa diambil dari cerita ini. Silakan disimpulkan sendiri.
Apakah ada BPR yang seperti ini, ditengah ketatnya pengawasan dari
Bank Indonesia.. Sebelum tulisan ini diturunkan seharusnya dilakukan cek
dan ricek, karena menyangkut nama baik sebuah lembaga yang bernama BPR.
Ayo BPR kita buktikan.. bahwa BPR tidak seperti tulisan ini...Kinerja BPR kita juga bisa dibanggakan...